KAJIAN FOKUS DAN RUMUSAN MASALAH, KOORDINASI DGN PRODI S2 PROFESI DAN PRODI S1 DAN MENGAJAR
JAKARTA, 7 JUNI 2022
1. KAJIAN FOKUS DAN RUMUSAN MASALAH DALAM PENDEKATAN KUALITATIF.
A. Pembatasan masalah studi melalui fokus
Membuat suatu penelitian ilmiah, maka langkah pertama dan dapat dikatakan langkah
utama yang harus dilakukan adalah mempelajari ‖ apa yang dikategorikan sebagai masalah‖.
Secara teoritis masalah dapat dipahami sebagai suatu kesenjangan antara harapan dan
kenyataan. Jawaban tersebut tentulah tidak memuaskan, karena yang masih menjadi
pertanyaan adalah ‖ bagaimana kita dapat menentukan bahwa sesuatu itu adalah masalah dan
layak menjadi masalah penelitian? Masalah yang layak diteliti setidak – tidaknya memenuhi
kriteria antara lain : Pertama masalahnya memiliki makna dan memberi kontribusi bagi
pengembangan teori dan pemecahan masalah. Kebermaknaan bagi pengembangan teori,
baik yang bersifat akumulatif maupun temuan teori baru yang menggunakan pendekatan
kualitatif atau pendekatan kuantitatif, akan memberi urunan bagi kemampuan menjustifikasi
substansi ilmu dan menganalisis secara komparatif perkembangan ilmu. Kebermaknaan teori,
kerangka berpikir baik dengan menggunakan pendekatan deduktif maupun induktif ke dalam
realitas nyata dan bersifat situasional sehingga memberi informasi tertentu bagi pengambil
kebijakan. Kedua, masalahnya relevan dengan bidang ilmu yang ditekuni. Sesuatu objek
yang terkategori masalah tidaklah dapat didekati dari satu pendekatan saja, melainkan
mengandung peluang untuk didekati dari berbagai aspek. Kecermatan untuk mengamati dari
disiplin ilmu yang ditekuni menunjukkan kematangan dan penguasaan ilmu yang dimiliki.
Ketiga, masalahnya aktual. Aktualitas masalahnya dapat diamati dari segi antara lain :
a). Substansi masalahnya mempunyai implikasi bagi munculnya masalah yang lebih rumit.
b). Eksentensi masalahnya bersifat urgen dan memerlukan pemecahan, baik yang dialami
oleh subjek yang memiliki masalah ( individu, kelompok, institusi ) maupun yang
diamati oleh pihak lain seperti peneliti, pengamat ataupun institusi tertentu.
c). Masalahnya memiliki konstelasi tertentu dalam upaya pengembangan kondisi - kondisi
tertentu baik itu untuk kepentingan individu, kelompok, pranata – pranata maupun
institusi.
Keempat, masalahnya spesifik dan dapat diteliti. Sebuah masalah yang sudah terkategori
masalah penelitian, masih perlu dipertimbangkan lagi secara cermat, apakah masalahnya
terkategori spesifik. Dalam alur pendekatan kuantitatif akan menjadi rujukan bagi pelacakan
dan penentuan teori yang relevan, pembentukan kerangka berpikir, perumusan hipotesis,
model alat ukur, sumber data, analisis data serta pembuatan kesimpulan. Dalam alur
pendekatan kualitatif penentuan masalah secara spesifik dapat dijadikan pijakan awal untuk
masuk kewilayah masalah yang lebih dalam dan juga akan bermakna bagi pengkajian teori
yang relevan.
Kelima, menetapkan masalah penelitian, seyogianya mempertimbangkan kondisi objektif
peneliti. Sumadi Suryabrata (1995) menyebut apakah masalah tersebut managable atau tidak
oleh sipeneliti. Managability dilihatnya dari lima aspek yaitu
a). Biaya yang tersedia
b). Waktu yang dapat digunakan
c). Alat – alat perlengkapan yang tersedia
d). Bekal kemampuan teoritis, dan
e). Penguasaan metode yang diperlukan. (Sumadi Suryabrata, 1995).
Perlu disadari bahwa suatu masalah tidak pernah berdiri sendiri dan terisolasi dari
faktor – faktor lainnya yang senantiasa memiliki keterkaitan dengan latarbelakang tertentu,
apakah itu dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, politik, sosial, historis, budaya, hukum,
motif pribadi, motif kelompok dan lain sebagainya. Dalam konstelasi penelaahan masalah
senantiasa menunjukkan sifat paradoksal. Pemecahan suatu masalah ternyata menimbulkan
masalah baru dan kadangkala masalahnya kompleks dan rumit. Umpamanya sebuah
perusahaan pabrik sepatu hendak meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya dengan
menerapkan teknologi baru, yang tentunya menuntut ketrampilan, keahlian baru bagi
karyawannya, jelas akan menimbulkan masalah baru, misalnya akan terjadi pemutusan
hubungan kerja bagi karyawan yang tidak memenuhi persyaratan dan standar kerja.
Pemutusan hubungan kerja akan memunculkan lagi masalah baru yang berantai. Dapat
dikatakan bahwa sesuatu hal yang dikategorikan masalah dan sudah diupayakan
pemecahannya ternyata memiliki jalinan sebab akibat yang berantai, sehingga menyulitkan
untuk menangkapnya, masalah – masalah manakah sesungguhnya yang dapat dijadikan
masalah penelitian. Dalam kaitan inilah maka upaya mengidentifikasi masalah menjadi suatu
hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Identifikasi masalah menjadi langkah permulaan dalam upaya memilah, menganalisis
dan menentukan masalah penelitian. Identifikasi masalah memberi rujukan untuk menelaah
sumber masalah, lingkup masalah, jalinan masalah, bobot masalah serta dapat diperkirakan
pendekatan penelitian dan model rancangan penelitian yang akan digunakan. Sumadi
Suryabrata (1995) memberi petunjuk tentang strategi dan cara untuk menelusuri sumber
masalah. Ada enam cara yang dikemukakan yaitu
1. Bacaan, terutama bacaan yang berisi laporan hasil penelitian,
2. Seminar, diskusi dan lain – lain pertemuan ilmiah,
3. Pernyataan pemegang otoritas,
4. Pengamatan sepintas,
5. Pengamalan pribadi, dan
6. Perasan intuitif (Sumadi Suryabrata, 1995).
Dari keenam cara tersebut di atas ada satu cara lagi yang tampaknya menjadi langkah yang
semestinya dilakukan yaitu mengadakan pengamatan langsung ( melihat, mendengar,
berdiskusi ) terhadap objek yang akan dijadikan kajian penelitian. Masalah yang diangkat
menjadi masalah penelitian benar – benar faktual, tidak merupakan persepsi peneliti, yang
dikatakan orang lain, .yang dikatakan oleh ahli, yang disimpulkan dalam seminar, yang
ditulis dalam jurnal dan yang sejenisnya. Peneliti benar-benar melihat, mendengar,
memahami fakta yang ada di lapangan. Hal ini akan dapat membantu peneliti untuk dapat
memahami keterjalinan masalah dan akan dapat memilah, menentukan pokok – pokok
masalahnya. Boleh dikatakan mengadakan semacam eksplorasi masalah.
Masalah yang telah diindentifikasi, tentulah tidak seluruhnya akan diteliti maka
langkah selanjutnya adalah membatasi ruang lingkup masalah yang hendak diteliti dan
disebut dengan pembatasan masalah dan pada penelitian kualitatif disebut focus
masalah. Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas
permasalahan dengan jelas yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja
yang termasuk ke dalam ruang lingkup permasalahan, dan faktor mana yang tidak (Jujun S.
Suryasumantri, 1998). Dalam penelitian kuantitatif pada tahap pembatasan masalah sudah
dapat ditentukan batas dan jenis variabel penelitian. Alur variabel penelitianpun sudah dapat
diskematisasikan secara jelas. Dalam penelitian kualitatif pembatasan masalah dapat
dijadikan rujukan untuk membuat skema awal untuk masuk ke dalam masalah yang lebih
mendalam. Melalui pembatasan masalah dapatlah dilanjutkan dengan membuat perumusan
masalah.
Masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada sesuatu fokus. Pada dasarnya
penentuan masalah menurut Lincoln dan Guba (1985:226) bergantung pada paradigma
apakah yang dianut oleh seorang peneliti, yaitu apakah ia sebagai peneliti, evaluator, ataukah
sebagai pen Di pihak lain. Tujuan suatu penelitian ialah upaya untuk memecahkan masalah.
Dengan demikian kelirulah anggapan orang atau peneliti yang menyamakan masalah dengan
penelitian. Perumusan masalah dilakukan dengan jalan mengumpulkan sejumlah pengetahuan
yang memadai dan yang mengarah pada upaya untuk memahami atau menjelaskan faktorfaktor
yang berkaitan yang ada dalam masalah tersebut. Jadi, proses tersebut berupa proses
dialektik yang berperan sebagai proposisi terikat dan antitesis yang membentuk masalah
berdasarkan usaha sintesis tertentu.Moleong (2005) mengemukakan bahwa terdapat dua maksud tertentu yang ingin peneliti capai dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus.
Pertama, penetapan fokus dapat membatasi studi. Jadi, dalam hal ini fokus akan membatasi
bidang inkuiri. Misalnya, jika kita membatasi diri pada upaya menemukan teori dari dasar,
maka lapangan penelitianlainnya tidak akan kita manfaatkan lagi. Pada contoh tersebut di
atas jelas bahwa subjek penelitian adalah remaja. Jadi peneliti tidak perlu kesana kemari
untuk mencari subjek penelitian, sudah dengan sendirinya dibatasi oleh fokusnya. Kedua,
penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-ekslusi atau kriteria masukkeluar
(inclusion-exlusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh dilapangan. Dengan
bimbingan dan arahan suatu fokus, seorang peneliti tahu persis data mana dan data tentang
apa yang perlu dikumpulkan dan data mana pula, yang walaupun mungkin menarik, karena
tidak relevan, tidak perlu dimasukan kedalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan. Jadi,
dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, seorang peneiti dapat membuat keputusan
yang tepat tentang data mana yang dikumpulkan dan mana yang tidak perlu dijamah ataipun
mana yang akan dibuang.
Penetapan fokus atau masalah dalam penelitian kualitatif bagaimana pun akhirnya
akan dipastikan sewaktu peneliti sudah berada di arena atau lapangan penelitian. Dengan kata
lain, walaupun rumusan masalah sudah cukup baik dan telah dirumuskan atas dasar
penelaahan kepustakaan dan dengan ditunjang oleh sejumlah pengalaman tertentu, bisa
terjadi situasi di lapangan tidak memungkinkan peneliti untuk meneliti masalah itu. Dengan
demikian kepastian tentang fokus dan masalah itu yang menentukan adalah keadaan di
lapangan.
Sebagai contoh: Kuntjaraningrat, antropologi terkenal, pada mulanya ingin meneliti
industri kopra rakyat di daerah pantai Utara Irian Jaya. Akan tetapi, ketika ia berada di sana
(1963) ternyata tidak banyak pohon kelapa yang masih produktif dan sarana angkutan serta
pemasarannya sudah mundur. Oleh karena itu, ia mengalihkan perhatiannya kepada masalah
hubungan kekerabatan yang renggang di Irian (Kuntjaraningrat dan Emmerson, ed.
1985:102).
Contoh lainnya: Joseph A. Kotarba mengadakan penelitian dengan judul ‗Discovering
Amorphous Social Experience; The Case of Chronic Pain;. Pada mulanya masalah
penelitiannya ialah untuk memahami secara tuntas pengalaman sakit total, termasuk cara-cara
yang digunakan untuk mencari pertolongan dari orang awam dan dari orang professional.
Karena tidak pasti tentang yang mempertajam populasi tentang sakitnya orang-orang secara
kronis, ia mengubah fokus dan masalah penelitiannya menjadi ‗Bermacam Pengalaman
dalam Seluruh Cara Hidup dan Seluruh Unsur Komunitas‘ (Joseph A. Kotarba dalam Shaffir,
Stebbins, dan Turowets, 1980:57-58).
Dari contoh-contoh tersebut jelas bahwa perumusan masalah yang bertumpu pada
fokus dalam penelitian kualitatif bersifat tentative, artinya penyempurnaan rumusan fokus
atau masalah itu masih tetap dilakukan sewaktu peneliti sudah berada di latar penelitian.
Rumusan masalah yang bertumpu pada fokus dapat berubah dan dapat disempurnakan
dan hal itu akan memberikan warna tersendiri pada penelitian kualitatif. Penelitian klasik
menganggap bahwa perubahan demikian sama sekali akan merusak inkuirinya karena
hipotesisnya yang sudah pasti, apabila berubah, variabelnya ikut berubah, dan pasti aka nada
sejumlah variabel pengganggu yang merusak masalah penelitiannya. Sebaliknya, pada
penelitian kualitatif, peneliti justru mengharapkan adanya perubahan demikian dan
mengantisipasi bahwa desain yang muncul akan diberi isi dan warna olehnya. Penelitian
alamiah justru menganggap perubahan demikian bukan merusak atau bersifat destruktif,
melainkan malah dipandang konstruktif karena perubahan yang terjadi merupakan tanda
adanya gerakan ke arah penyempurnaan dan kearah inkuiri yang berpandangan luas. Hal ini
jelas sesuai dengan salah satu karakteristik penelitian kualitatif bahwa desainnya dapatlah
berubah sesuai dengan situs atau konteks penelitian yang dihadapi.
Sebagai contoh kongret di bawah ini dikemukakan pembatasan studi Nancy Chism
(1984:16-18) yang meneliti ; Conditions Influencing Teacher Development in an Elementary
School Setting‘, suatu penelitian yang tergolong kualitatif yang dikemukakan olah Moleong
(2005)
Pembatasan Studi
Guba dan Lincoln (1981) membahas secara baik keperluan maupun kesulitan
penetapan batas waktu studi. Dalam studi ini bidang umum tentang pengembangan tenaga
ditelaah. Banyak penulis (Burden, 1979; Harris, 1980; dan Holly, 1977) mengemukakan
176
bagaimana pun pengembangan pribadi dan pengembangan professional berkaitan. Guru
misalnya, sering mengajar murid yang dengan pengalaman agama atau mempunyai hobi
tertentu membuat mereka menjadi guru yang lebih baik. Yang jelas, perkembangan pribadi
berkaitan dengan perkembangan professional, dan studi ini fokusnya ditekankan pada yang
terakhir itu. Perhatian akan dipusatkan pada isu-isu yang berkaitan dengan pengembangan
guru di dalam konteks organisasi. Konteks fisik akan mencakup alat-latar seperti bangunan
sekolah perabot, tetapi bukan rumah, masjid, gereja atau restoran.
Persoalan pengaruh lingkungan organisasional terhadap pengembangan guru
menimbulkan berbagai pertanyaan tentang hubungan antara pribadi dan lingkungan. Asumsi
pokok sebagai yang diusulkan dalam studi ini ialah bahwa kondisi-kondisi lingkungan
organisasional pada guru-guru dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap tipe-tipe
pengembangan yang akan terjadi. Pengaruh sebaliknya bahwa yang diperoleh guru-guru
dalam mempertajam lingkungan, walaupun tidak ditolak, dan juga menjadi bagian penting
dari studi, tidak dimasukkan sebagai fokus. Sementara itu, studi ini bermaksud menelaah
bagaimana kondisi-kondisi pengalaman secara umum (yang ditafsirkan secara berbeda oleh
guru-guru dengan variasi kepribadian, kepedulian, dan latar belakang) mempengaruhi
perkembangan guru.
Istilah guru professional, pengembangan (development), pertumbuhan (growth),
belajar, digunakan secara silih berganti untuk menyinggung perubahan yang berasal dari
pengalaman yang memperbaiki kemampuan guru berjangka agar mereka perfungsi secara
efektif di sekolah.
Contoh diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa peneliti membatasi diri pada
faktor-faktor tertentu saja pada lingkungan penelitiannya. Dengan tegas peneliti mengatakan
bahwa ia tidak menelaah hal-hal tertentu lainnya.
Pembatasan masalah merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian
penelitian kualitatif walaupun sifatnya masih tentative. Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan penting.
Pertama, suatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang vakum atau kosong.
Implikasinya, peneliti seyogianya membatasi masalah studinya yang bertumpu pada fokus.
Hal ini yang memungkinkan adanya acuan teori dari sesuatu penelitian (biasanya hal itu
dimasukkan dalam Bab 2)Kedua, fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari pengalaman
peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun
kepustakaan lainnya. Implikasi, apabila peneliti merasakan adanya masalah, seyogianya ia
mendalami kepustakaan yang relevan sebelum terjun ke lapangan. Dengan jalan demikian
fokus penelitian akan memenuhi kriteria untuk bidang inkuiri yaitu kriteria inklusi-eksluklusi.
Implikasi yang lain ialah peneliti harus memanfaatkan paradigma. Dengan fokus, peneliti
akan tahu persis data yang perlu dikumpulkan.
Ketiga, tujuan peneitian pada dasarnya adalah memecahkan masalah yang telah
dirumuskan. Implikasinya, masalah perlu dirumuskan terlebih dahulu, barulah tujuan
penelitian ditetapkan, bukan sebaliknya.
Keempat, masalah yang bertumpu pada fokus yang ditetapkan bersifat tentative, dapat
diubah sesuai dengan situasi latihan penelitian. Implikasinya, peneliti tidak perlu kecewa jika
masalah atau fokusnya berubah. Dengan kata lain, peneliti hendaknya membiasakan diri
untuk menghadapi perubahan dalam masalah penelitian. Jika perubahannya cukup besar dan
memerlukan orientasi baru dalam dasar pemikiran, maka peneliti perlu mendalami kembali
kepustakaan yang relevan dengan masalah baru itu.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diajukan, sebenarnya telah dapat
dicermati apa inti masalah yang diteliti dengan perkataan lain sebenarnya telah tersirat tujuan
penelitian yang hendak dicapai. Kalau telah dapat diduga tentang tujuan penelitian, maka
sudah dapat diharapkan kegunaan peneliti yang dimaksud. Kegunaan penelitian sebetulnya
telah tersirat di dalam latar belakang masalah. Dalam pelacakan dan penentuan masalah
peneliti secara tersamar sebetulnya telah menunjuk pada manfaat apa yang diharapkan kalau
meneliti suatu masalah, bahkan telah terbayang tentang solusi-solusi tertentu yang akan
diambil sekalipun masih bersifat a priori.
Sebagai contoh kongret di bawah ini dikemukakan pembatasan studi Nancy Chism
(1984:16-18) yang meneliti ;Conditions Influencing Teacher Development in an Elementary
School Setting‘, suatu penelitian yang tergolong kualitatif.
Guba dan Lincoln (1981) membahas secara baik keperluan maupun kesulitan
penetapan batas waktu studi. Dalam studi ini bidang umum tentang pengembangan tenaga
ditelaah. Banyak penulis (Burden, 1979; Harris, 1980; dan Holly, 1977) mengemukakan
bagaimana pun pengembangan pribadi dan pengembangan professional berkaitan. Guru
misalnya, sering mengajar murid yang dengan pengalaman agama atau mempunyai hobi
tertentu membuat mereka menjadi guru yang lebih baik. Yang jelas, perkembangan pribadi
berkaitan dengan perkembangan professional, dan studi ini fokusnya ditekankan pada yang
terakhir itu. Perhatian akan dipusatkan pada isu-isu yang berkaitan dengan pengembangan
guru di dalam konteks organisasi. Konteks fisik akan mencakup alat-latar seperti bangunan
sekolah perabot, tetapi bukan rumah, masjid, gereja atau restoran.
Persoalan pengaruh lingkungan organisasional terhadap pengembangan guru
menimbulkan berbagai pertanyaan tentang hubungan antara pribadi dan lingkungan. Asumsi
pokok sebagai yang diusulkan dalam studi ini ialah bahwa kondisi-kondisi lingkungan
organisasional pada guru-guru dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap tipe-tipe
pengembangan yang akan terjadi. Pengaruh sebaliknya bahwa yang diperoleh guru-guru
dalam mempertajam lingkungan, walaupun tidak ditolak, dan juga menjadi bagian penting
dari studi, tidak dimasukkan sebagai fokus. Sementara itu, studi ini bermaksud menelaah
bagaimana kondisi-kondisi pengalaman secara umum (yang ditafsirkan secara berbeda oleh
guru-guru dengan variasi kepribadian, kepedulian, dan latar belakang) mempengaruhi
perkembangan guru.
Istilah guru professional, pengembangan (development), pertumbuhan (growth),
belajar, digunakan secara silih berganti untuk menyinggung perubahan yang berasal dari
pengalaman yang memperbaiki kemampuan guru berjangka agar mereka perfungsi secara
efektif di sekolah.
Contoh diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa peneliti membatasi diri pada
faktor-faktor tertentu saja pada lingkungan penelitiannya. Dengan tegas peneliti mengatakan
bahwa ia tidak menelaah hal-hal tertentu lainnya.
Pembatasan masalah merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian
penelitian kualitatif walaupun sifatnya masih tentative. Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan penting.
Pertama, suatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang vakum atau kosong.
Implikasinya, peneliti seyogianya membatasi masalah studinya yang bertumpu pada fokus.
Hal ini yang memungkinkan adanya acuan teori dari sesuatu penelitian (biasanya hal itu
dimasukkan dalam Bab 2)
Kedua, fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari pengalaman
peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun
kepustakaan lainnya. Implikasi, apabila peneliti merasakan adanya masalah, seyogianya ia
mendalami kepustakaan yang relevan sebelum terjun ke lapangan. Dengan jalan demikian
fokus penelitian akan memenuhi kriteria untuk bidang inkuiri yaitu kriteria inklusi-eksluklusi.
Implikasi yang lain ialah peneliti harus memanfaatkan paradigma. Dengan fokus, peneliti
akan tahu persis data yang perlu dikumpulkan.
Ketiga, tujuan peneitian pada dasarnya adalah memecahkan masalah yang telah
dirumuskan. Implikasinya, masalah perlu dirumuskan terlebih dahulu, barulah tujuan
penelitian ditetapkan, bukan sebaliknya.
Keempat, masalah yang bertumpu pada fokus yang ditetapkan bersifat tentative, dapat
diubah sesuai dengan situasi latihan penelitian. Implikasinya, peneliti tidak perlu kecewa jika
masalah atau fokusnya berubah. Dengan kata lain, peneliti hendaknya membiasakan diri
untuk menghadapi perubahan dalam masalah penelitian. Jika perubahannya cukup besar dan
memerlukan orientasi baru dalam dasar pemikiran, maka peneliti perlu mendalami kembali
kepustakaan yang relevan dengan masalah baru itu.
2.KOORDINASI DENGAN PRODI S2 PROFESI
a. koordinasi dalam rangka penerimaan mahasiswa baru khususnya tahapan pelaksanaan wawancara
b. koordinasi dalam rangka proses pembimbingan mahasiswa dalam rangka penyelesaian tugas mayoring
3. KOORNIDASI DENGAN PRODI S1
a. koordinasi dalam rangka pembuatan buku panduan pendidikan dan pembuatan RPS
4. MENGAJAR PROGRAM S3
Mengajar program s3 dalam mata kuliah Analisis penelitian kualitatif
5. Membimbing mahasiswa program S1 dalam penyelesaian skripsi
penulis adalah dosen pada Fakultas Psikologi UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA YAI
Comments
Post a Comment